Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) mengungkap bahwa kebutuhan susu segar di Indonesia terus mengalami tren peningkatan. Namun, kebutuhan susu segar ini tidak sejalan dengan produksi susu segar dalam negeri yang masih minim.
Deputi Bidang Perkoperasian Ahmad Zabadi mengakui bahwa saat ini keberadaan industri susu nasional hanya kurang dari 20%, terutama di peternak sapi perah yang berkontribusi terhadap kebutuhan susu nasional.
“Kebutuhan susu semakin meningkat, kedai-kedai kopi, kafe di mana-mana, anak-anak muda sekarang begitu sangat menikmati susu, minum kopi pasti pakai susu. Kebutuhan susu meningkat dengan tajam,” kata Ahmad di Auditorium Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Kamis (10/10/2024).
Terlebih, Ahmad mengungkap bahwa Indonesia sempat dilanda penyakit mulut dan kuku (PMK) yang menular ke peternakan sapi pada tiga tahun silam. Kondisi ini berdampak luas pada produksi susu segar di Indonesia.
“Dua tahun yang lalu, kita merasakan, perhitungan data yang kami miliki, tidak kurang dari 40% dari produksi susu di Indonesia ini menggerus dari petani sapi rakyat,” ungkapnya.
Bahkan, Ahmad menyebut para peternak sapi perah yang semula masuk ke dalam kelompok masyarakat yang establis secara ekonomi, kemudian jatuh pada garis kemiskinan akibat wabah PMK. Dia pun mengklaim ada ribuan sapi mati dan produktivitas ikut menurun.
Baca Juga
“Datanya, tiap hari ratusan sampai ribuan sapi perah rakyat itu tumbang, mati, dan yang hidup tidak lagi produktif sampai 80%,” ungkapnya.
Namun, dia mengakui pasca wabah PMK, kondisi produksi susu sapi masih belum pulih karena keterbatasan dari para petani sapi perah rakyat untuk recovery, terutama dalam hal pembiayaan.
Umumnya, kata dia, sapi-sapi yang dikelola oleh koperasi susu, jauh dari yang dikelola para industri. Meski begitu, Ahmad menyampaikan bahwa peran koperasi susu di Indonesia menjadi salah satu tonggak monumental meski telah terjadi penurunan yang sangat dalam.
“Kalau di masa orde baru, yang saya catat, kontribusi dari kooperasi susu nasional, secara nasional itu mencapai lebih dari 50%, hampir relatif seimbang kontribusinya dengan industri pengolahan susu [IPS],” ungkapnya.
Kemenkop UKM juga menyoroti pakan, isolasi, dan ketersediaan lahan yang mengganggu perkembangan produksi susu. Di samping itu, biaya logistik juga disebut menjulang tinggi.
“Tetapi ternyata secara nasional karena memang belum terintegrasi antara ketersediaan pakan untuk ternak dengan keberadaan produksi susu menyebabkan juga biaya logistik tinggi sekali,” ucapnya.
Untuk itu, dia menilai perlu dibangun ekosistem yang terintegrasi dari pengembangan produksi susu di Tanah Air. Namun, terhitung hari ini, lahan-lahan sudah berubah menjadi bangunan dan rumah huni yang berdampak pada ketebatasan ketersediaan lahan.
Selain itu, Ahmad juga mengakui adanya tantangan dan impor terutama susu bubuk dan susu powder yang dampaknya cukup serius.
Bahkan, dia mengungkap hasil produksi susu di sejumlah koperasi juga terpaksa dibuang karena tidak bisa diserap lagi oleh IPS, sebab harganya yang terlalu rendah dan kebutuhan IPS sudah bisa dipenuhi dari impor susu bubuk.
“Sehingga, hari ini angkanya menunjukkan pengadaan kebutuhan susu nasional kita 80%. Sementara kemampuan kita menyediakan di dalam negeri hanya 20%,” pungkasnya.